Senin, 21 Februari 2011

Perempuan dalam Goresan Pena

Perempuan dalam goresan pena
Serupa kembang tak bertuan
Menyiratkan sejuta tanya
Yang berpalung dari dalam jiwa
Siapa dia?
Ku ingin tahu

Perempuan dalam goresan pena
Fatamorgana dalam sebuah rasa
Berselimut bayang asmara
Memandang wajahmu adalah siksa
Mendengar namamu adalah derita

Hey, entah kenapa
Lama-lama bunga itu mekar
Terus tumbuh
Untuk tampil dengan gagahnya
Lantang menantang masa lalu
Akankah ini terus bertahan?

Ah, terlalu bodoh untuk diriku
Bercinta dengan misteri
Hanya mampu berimaji
Lalu, kututup kembali pintu itu
Hingga ada peri kecil
Membuka dengan cahayanya
Tak terang,
Namun cukup menjadi pelita
Saat ku tak mampu
Menjadi bintangku sendiri

Jumat, 28 Januari 2011

Ambisi Nurdin dan Arogansi PSSI


Miris, itulah kata-kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi persepakbolaan kita saat ini. Sudah bertahun-tahun persepakbolaan kita minim prestasi. Jangankan prestasi, yang ada malah rusuh dan anarkis pada setiap pertandingannya. Terakhir, kita mendengar berita tentang terbunuhnya 2 orang supporter LA Mania, pendukung Persela Lamongan karena bentrok dengan Bonek, pendukung Persebaya. Lalu, apa penyebab dari carut marutnya dunia persepakbolaan kita saat ini?

Jika kita telusuri lebih jauh, masalahnya memang sangat kompleks. Mulai dari masalah anarkisme supporter, minimnya infrastruktur, kurangnya pembinaan usia dini sampai dengan arogansi PSSI, selaku induk persepakbolaan di negara kita. Arogansi PSSI? Ya, PSSI memang arogan dan inilah yang menjadi pangkal masalahnya. Di saat ada pihak yang ingin memajukan persepakbolaan kita dengan membuat kompetisi baru, sebutlah LPI (Liga Primer Indonesia), PSSI justru melarangnya, bahkan mengancam pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Termasuk melarang pemain-pemain yang berlaga di LPI seperti Irfan Bachdim, Kim Jeffrey, Andik Vermansyah, dan lain-lain untuk bergabung dengan timnas. Bukankah ini namanya sebuah diskriminasi? Seharusnya PSSI mengijinkan kompetisi tersebut dan membiarkan LPI dan ISL (kompetisi binaan PSSI) "bersaing" secara sehat. Toh, kedua-duanya bertujuan untuk memajukan persepakbolaan di tanah air agar lebih baik dan profesional.

Salah satu orang yang harus bertanggung jawab dalam hal ini adalah Nurdin Halid selaku Ketua Umum PSSI. Hampir selama 8 tahun era kepemimpinannya, Indonesia belum pernah meraih gelar juara satu pun. Paling maksimal hanya meraih runner-up di Piala AFF kemarin, itupun lebih karena dukungan rakyat Indonesia dan polesan tangan dingin seorang Alfred Riedl. Seharusnya waktu 8 tahun itu sudah cukup untuk menjadikan negara kita sebagai kiblat sepak bola di ASEAN bahkan menjadi "Macan Asia". Hal ini berarti Nurdin Halid dan PSSI-nya tidak becus dalam mengelola dunia kulit bundar di negeri ini.

Sepertinya Nurdin Halid kurang introspeksi diri. Bayangkan, organisasi olahraga tertua ini pernah dipimpinnya di balik jeruji besi selama 2 tahun. Apa kata dunia? Hal-hal seperti politisasi timnas, skandal korupsi dan kasus-kasus lain tak jua membuatnya mundur karena yang menginginkannya mundur hanya "segelintir" orang saja, katanya. Seharusnya dia belajar dari sikap Alm. Presiden Soeharto. Pak Harto saja yang pernah membuat negara kita disegani oleh dunia mau mengundurkan diri, masa' Nurdin yang belum pernah mengukir prestasi tidak mau turun kursi. Alasannya beragam, merusak tatanan demokrasi lah, tidak sesuai dengan statuta FIFA lah, dan lain-lain. Atau jangan-jangan baginya PSSI adalah ladang "empuk" untuk korupsi?

Menjelang masa jabatannya berakhir, Nurdin mulai menggalang dukungan lewat kongres PSSI dan berambisi untuk mencalonkan diri kembali sebagai ketua umum PSSI untuk ketigakalinya secara beruntun. Arogansi PSSI pun terlihat jelas dengan memecat beberapa klub anggota PSSI seperti PSM, Persema, Persibo, dan lain-lain lewat kongres PSSI tersebut. Dan sepertinya ambisi Nurdin untuk terpilih kembali berpeluang besar bisa terwujud dalam Munas PSSI di Bintan, Maret nanti. Karena banyak pengurus dan anggota PSSI yang cukup loyal dengannya dikarenakan ada "uang saku" yang didapat oleh mereka. Namun demikian, kita semua berharap bahwa Nurdin tidak akan terpilih lagi dan orang yang terpilih sebagai ketua umum PSSI nantinya adalah sosok yang tepat dalam rangka membenahi persepakbolaan di negeri ini. Maju terus sepak bola Indonesia !!!

Sabtu, 21 Agustus 2010

UNS, Tempat Pelabuhanku Selanjutnya (Based on my true story)

Ini adalah sebuah cerita mengenai pengalaman pribadiku selama beberapa bulan terakhir ini. Pengalaman yang mungkin juga dirasakan oleh setiap orang yang baru saja lulus SMA. Inilah cerita mengenai sulitnya mencari bangku kuliah, khususnya Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Cerita ini hanya bertujuan untuk membagi suka-duka selama dalam proses pencarian universitas belaka, tiada maksud lain yang tersirat di dalamnya.

Kisah ini berawal saat saya sedang dilanda kebingungan. "Mau kuliah di mana aku nanti?", pertanyaan ini selalu berkecamuk dalam benakku, terus terngiang di telingaku, dan selalu terbayang di pikiranku. Apalagi aku menyadari saat itu aku memang sudah kelas 3. Jadi wajar, bila itu terus menjadi beban pikiran, lebih-lebih kalau orang tua menanyakan tentang hal itu, bisa stress lama-lama. Bahkan, hal itu membuat aku berkhayal yang terlalu tinggi. Kalau ada seseorang yang bertanya, "Udah diterima di mana, Mas?". Dengan bangganya, aku pasti bisa menjawab, "UI, UGM, Undip, dll.". Tapi kini, itu semua hanya menjadi angan-angan yang tak sampai.

Waktu terus berlalu, banyak mahasiswa atau alumni yang mulai mempresentasikan keunggulan kampusnya masing-masing, membuat aku tambah bingung saja. Mula-mula UI dan ITT Telkom membuka pendaftaran mahasiswa baru. Aku cukup tertarik dan mulai mendiskusikannya dengan orang tua. Namun, mereka tidak setuju. Saya tidak boleh kuliah jauh-jauh, karena selain biaya hidup yang mahal, mereka masih enggan untuk melepas anaknya kuliah di luar kota. Boleh di luar kota, tapi maksimal hanya di Jogja atau Semarang, kata mereka. Orang tua sempat menawarkan untuk kuliah di keguruan. Dengan tegas, aku menolak tawaran itu. Bukannya apa-apa, seorang guru pada dasarnya adalah seorang pendidik dan aku tak mampu untuk menjadi seorang pendidik. Ya sudahlah, biar nanti Tuhan yang menunjukkan jalan kepadaku.

Setelah menunggu beberapa minggu, UGM dan Undip juga mulai membuka pendaftaran lewat UM-nya. Langsung saja, aku mendaftar di hari-hari awal. Untuk UGM, aku memilih jurusan: 1) Akuntansi 2) Hubungan Internasional 3) Ilmu Komunikasi. Sedangkan untuk Undip, jurusan yang kupilih adalah: 1) Akuntansi 2) Komunikasi. Mengapa aku memilih jurusan itu? Aku memilih akuntansi karena memang prospek kerjanya yang bagus. Jaman sekarang, perusahaan mana yang tidak mau menggunakan jasa seorang akuntan, walaupun kata orang, mata kuliahnya yang disajikan memang sulit untuk dicerna. Lalu bagaimana dengan HI? Itu memang memang menjadi tujuan utamaku kuliah di Jogja. Aku terobsesi dengan tokoh-tokoh besar seperti Alm. Ali Alatas, Prof. Amien Rais (tokoh idolaku dulu), Marty Natalegawa, dll. Lalu, mengapa aku memilih komunikasi? Karena ini memang kemauan ibu, Beliau ingin melihat anaknya jadi seorang journalist atau news presenter. Ya sudah, nurut sajalah sama orang tua.

Akhirnya, UM itu datang juga. Hari itu bertepatan dengan 2 hari dan 9 hari setelah Ujian Nasional selesai atau tepatnya tangga 28 Maret dan 4 April 2010. Memang berat, secara bersamaan, konsentrasiku harus terpecah antara UN dengan UM yang tipe soalnya berbeda. Namun demikian, berbagai macam persiapan sudah kulakukan. Mulai dari belajar siang-malam hingga mengikuti beberapa kali try out. Untuk sekedar informasi, saat try out di Karanganyar, aku meraih ranking 1 (maaf, bukannya sombong, karena pesertanya hanya +/- 20 orang saja.)

Singkat cerita, beberapa minggu kemudian, Undip mengumumkan hasil UM kemarin. Dan hasilnya, aku tidak diterima, begitu juga dengan pengumuman UM-UGM, hasilnya juga sama, gagal total. Setelah menerima hasil pengumuman itu, aku agak 'down' dan terpuruk untuk beberapa lama, sebelum akhirnya mencoba ikhlas untuk menerimanya. Ada yang mengatakan bahwa nilai sumbangannya terlalu kecil, minimal harus dilebihkan sedikit. Ya, memang saat itu, aku memberikan angka sumbangan yang paling minim. Tapi menurutku bukan itu penyebabnya, memang karena kemampuanku saja yang masih kurang untuk mengerjakan soal-soal yang sulit seperti itu. Dan 'endingnya', pupus sudah harapanku untuk kuliah di UGM.

Hari silih berganti, aku tak jua mendapatkan universitas, agak frustrasi melihat teman-teman yang sudah sukses meraih impiannya. Sempat berpikir untuk mengikuti bimbel, tapi rasanya sudah terlambat. Lelah menanti, harapan itu muncul lagi, SNMPTN dan USM-STAN menjadi asa terakhir bagiku. Lalu, aku mendaftar bersama teman -teman yang senasib denganku. Mula-mula SNMPTN, kali ini saya mengambil jurusan yang berbeda dengan UGM maupun Undip. Manajemen, pilihan pertama dan ilmu hukum, pilihan kedua, kesemuanya adalah UNS. Jujur, aku ingin mengambil jurusan akuntansi, tapi aku masih trauma dengan UM kemarin. Apalagi passing grade-nya lumayan tinggi, aku rasa manajemen menjadi pilihan yang paling bijak. Selanjutnya, giliran mendaftar USM-STAN ke Jogja lagi. Perpajakan menjadi pilihan utama. Siapa yang tidak mau? Kuliah 3 tahun langsung jadi PNS Kementerian Keuangan, plus ditambah remunerasi yang besar pula. Wah, kesempatan yang menggiurkan, apalagi kali ini keluarga mendukung.

Akhirnya, pada tanggal 16 Juli 2010, aku diterima di jurusan manajemen UNS. Lega dan senang luar biasa. Setelah sekian lama menanti, akhirnya berhasil juga untuk sedikit membuat orang tua tersenyum. Lalu, bagaimana dengan STAN? Gagal lagi, mungkin Tuhan belum mengijinkan untuk kuliah di sana. Aku harus realistis, yang mendaftar 113-an ribu orang, sedangkan yang diterima hanya 3.700 orang. Tak apa lah, yang penting sudah dapat tempat kuliah di Kota Solo tercinta.

Dan syukur Alhamdulillah, pada tanggal 18 kemarin, aku sudah resmi dilantik menjadi seorang mahasiswa S1 jurusan manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Osmaru juga sudah dilaksanakan selama tiga hari kemarin. Kini, aku sudah tidak sabar untuk kuliah setelah berkali-kali gagal dalam ujian masuk perguruan tinggi. Sungguh suatu pengalaman dan pelajaran yang sangat berharga bahwasanya keberuntungan itu benar-benar menjadi salah satu faktor utama dalam meraih kesuksesan selain ketekunan dan kesungguhan, Jadi, memang tidak salah, ada pepatah Jawa yang mengatakan, “Wong pinter iku kalah karo wong bejo” atau orang pintar itu kalah dengan orang yang beruntung. Karena aku termasuk orang-orang yang beruntung dalam SNMPTN kemarin. Bismillah, dengan niat yang baik, semoga Tuhan merahmati dan meridhoi saat aku memasuki masa perkuliahan nanti. Amin.